KATA PENGANTAR
Puji syukur
atas kehadirat Allah SWT karena atas rahmat dan karunia-Nya makalah yang
berjudul “Kekerasan terhadap Anak” ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya. Makalah ini disusun sebagai tugas untuk mata kuliah Sistem Hukum Indonesia.
Penulisan
makalah ini tentunya tidak lepas dari bantuan berbagai pihak. Untuk itu penulis menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya
kepada semua pihak yang telah membantu terselesaikannya makalah ini.
Penulis
menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih jauh dari kesempurnaan dan
masih banyak kekurangan yang masih perlu diperbaiki, untuk itu penulis
mengharapkan saran dan kritik yang membangun demi kesempurnaan makalah ini,
sehingga dapat bermanfaat bagi siapapun yang membacanya.
Medan, November 2013
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
Anak adalah
tumpuan dan harapan orang tua. Anak jugalah yang akan menjadi penerus bangsa ini. Sedianya,
wajib dilindungi maupun diberikan kasih sayang. Namun fakta berbicara
lain. Maraknya kasus kekerasan pada anak sejak beberapa tahun
ini seolah membalikkan pendapat bahwa anak perlu dilindungi. Begitu banyak anak yang menjadi korban kekerasan keluarga,
lingkungan maupun masyarakat dewasa ini.
Pasal 28b
ayat 2 menyatakan bahwa “Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh,
dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminas”. Namun apakah pasal tersebut sudah dilaksanakan dengan benar?
Seperti yang kita tahu bahwa Indonesia masih jauh dari
kondisi yang disebutkan dalam pasal tersebut.
Berbagai
jenis kekerasan diterima oleh anak-anak, seperti kekerasan verbal, fisik,
mental maupun pelecehan seksual. Ironisnya pelaku kekerasan terhadap anak biasanya adalah orang yang
memiliki hubungan dekat dengan si anak, seperti keluarga, guru maupun teman
sepermainannya sendiri. Tentunya ini juga memicu
trauma pada anak, misalnya menolak pergi ke sekolah setelah tubuhnya dihajar
ole gurunya sendiri.
Kondisi ini
amatlah memprihatinkan, namun bukan berarti tidak ada penyelesaiannya. Perlu koordinasi yang tepat di lingkungan sekitar anak terutama
pada lingkungan keluarga untuk mendidik anak tanpa menggunakan kekerasan,
menyeleksi tayangan televisi maupun memberikan perlindungan serta kasih sayang
agar anak tersebut tidak menjadi anak yang suka melakukan kekerasan nantinya.
Tentunya kita semua tidak ingin negeri ini dipimpin oleh
pemimpin bangsa yang tidak menyelesaikan
kekerasan terhadap rakyatnya.
Persoalannya adalah sejauhmana hukum atau perundang-undangan Indonesia,
mengapresiasi terhadap fenomena tersebut,baik terhadap perbuatan, pelaku maupun
anak sebagai korban kekerasan.
BAB II
PERMASALAHAN
Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut
di atas, dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut:
1. Pengertian Anak Menurut Undang-Undang
2. Pengertian kekerasan terhadap anak
menurut para ahli
3.
Faktor-faktor
yang memicu kekerasan terhadap anak
4.
Bentuk-bentuk
kekerasan terhadap anak
5.
Dampak
kekerasan terhadap anak
6.
Perlindungan
hukum terhadap anak korban kekerasan
7.
solusi
pencegahan kekerasan terhadap anak
BAB III
PEMBAHASAN
3.1 Pengertian anak menurut UU
Dalam Pasal 1 nomor 2 Undang-undang
Nomor 4 Tahun 1979, tentang Kesejahteraan anak disebutkan bahwa :
“Anak adalah
seseorang yang belum mencapai umur 21 tahun dan belum pernah kawin”.
Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997
menyebutkan dalam pasal 1 nomor 1 bahwa:
“Anak adalah
orang yang dalam perkara anak nakal telah mencapai umur delapan tahun, tetapi
belum mencapai umur 18 tahun danbelum pernah kawin”.
Pengertian anak menurut UU No. 23
Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak tercantum dalam Pasal I butir I UU No.
23/2002 berbunyi:
“Anak adalah seseorang yang
belum berusia 18 (delapan belas tahun), termasuk anak yang masih dalam kandungan”.
Dalam pengertian dan batasan tentang anak sebagaimana dirumuskan dalam pasal I
butir I UU No.23/2002 ini tercakup 2 (dua) isu penting yang menjadi unsur
definisi anak, yakni:
Pertama,
seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun. Dengan
demikian, setiap orang yang telah melewati batas usia
18 tahun, termasuk orang yang secara mental tidak cakap, dikualifikasi sebagai
bukan anak, yakni orang dewasa. Dalam hal ini, tidak
dipersoalkan apakah statusnya sudah kawin atau tidak.
Kedua, anak
yang masih dalam kandungan. Jadi, UU
No.23/2002 ini bukan hanya melindungi anak yang sudah lahir tetapi diperluas,
yakni termasuk anak dalam kandungan.
Pengertian dan batasan usia anak dalam UU No. 23/2002,
bukan dimaksudkan untuk menentukan siapa yang telah dewasa, dan siapa yang
masih anak-anak. Sebaliknya, dengan pendekatan perlindungan, maka setiap orang
(every human being) yang berusia di bawah 18 tahun – selaku subyek hukum dari
UU No. 23/2002 – mempunyai hak atas perlindungan dari Negara yang diwujudkan
dengan jaminan hukum dalam UU No. 23/2002.
Hak Dan Kewajiban Anak Menurut UU
No. 23 Tahun 2002
1. Hak Anak Menurut UU No. 23 Tahun 2002
Hak anak adalah bagian dari hak asasi manusia yang wajib dijamin, dilindungi
dan dipenuhi oleh orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah, dan Negara.
Hak-hak anak yang tercantum dalam UU No. 23 Tahun 2002 di antaranya adalah:
Pasal 4
Setiap anak berhak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi
secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat
perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
Pasal 5
Setiap anak berhak atas suatu nama sebagai identitas
diri dan status kewarganegaraan.
Pasal 6
Setiap anak berhak untuk bribadah menurut agamanya, berpikir, dan berekspresi
sesuai dengan tingkat kecerdasan dan usianya, dalam bimbingan orang tua.
Pasal 7
(1) Setiap anak berhak untuk mengetahui orang tuanya, dibesarkan, dan diasuh
oleh orang tuanya sendiri.
(2) Dalam hal karena suatu sebab orang tuanya tidak dapat menjamin tumbuh
kembang anak, atau dalam keadaan terlantar maka anak tersebut berhak diasuh
atau diangkat sebagai anak asuh atau anak angkat oleh orang lain sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 8
Setiap anak berhak memperoleh pelayanan kesehatan dan jaminan sosial sesuai
dengan kebutuhan fisik, mental, spiritual, dan sosial.
Pasal 9
(1) Setiap anak berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka
pengembangan pribadinya dan tingkat kecerdasannya sesuai dengan minat dan
bakatnya.
(2) Selain hak anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), khusus bagi anak yang
menyandang cacat juga berhak memperoleh pendidikan luar biasa, sedangkan bagi
anak yang memiliki keunggulan juga berhak mendapatkan pendidikan khusus.
Pasal 10
Setiap anak berhak menyatakan dan dan didengar pendapatnya, menerima, mencari,
dan memberikan informasi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan usianya demi
pengembangan dirinya sesuai dengan nilai-nilai kesusilaan dan kepatuhan.
Pasal 11
Setiap anak berhak untuk beristirahat dan memanfaatkan waktu luang, bergaul
dengan anak sebaya, bermain, berekreasi, dan berkreasi sesuai dengan minat,
bakat, dan tingkat kecerdasannya demi pengembangan diri.
Pasal 12
Setiap anak yang menyandang cacat berhak memperoleh rehabilitasi, bantuan
sosial, dan pemeliharaan taraf kesejahteraan sosial.
Pasal 13
(1) Setiap anak selama dalam pengasuhan orang tua, wali, atau pihak lain mana
pun yang bertanggung jawab atas pengasuhan, berhak mendapat perlindungan dari
perlakuan:
a. diskriminasi;
b. eksploitasi, baik ekonomi maupun seksual;
c. penelantaran;
d. kekejaman, kekerasan, peng-aniaya-an;
e. ketidakadilan; dan
f. perlakuan salah lainnya.
(2) Dalam hal orang tua, wali atau pengasuh anak melakukan segala bentuk
perlakuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), maka pelaku dikenakan pemberatan
hukuman.
Pasal 14
Setiap anak berhak untuk diasuh oleh orang tuanya sendiri, kecuali jika ada
alasan dan /atau aturan hukum yang sah menunjukkan bahwa pemisahan itu adalah
demi kepentingan terbaik bagi anak dan merupakan pertimbangan terakhir.
Pasal 15
Setiap anak berhak untuk memperoleh perlindungan dari:
a. penyalahgunaan dalam kegiatan politik;
b. pelibatan dalam sengketa bersenjata;
c. pelibatan dalam kerusuhan sosial;
d. pelibatan dalam peristiwa yang mengandung unsur kekerasan; dan
e. pelibatan dalam peperangan.
Pasal 16
(1) Setiap anak berhak memperoleh perlindungan dari sasaran penganiayaan,
penyiksaan, atau penjatuhan hukuman yang tidak manusiawi.
(2) Setiap anak berhak untuk memperoleh kebebasan sesuai dengan hukum.
(3) Penangkapan, penahanan, atau tindak pidana penjara anak hanya dilakukan
apabila sesuai hukum yang berlaku dan hanya dapat dilakukan sebagai upaya
terakhir.
Pasal 17
(1) Setiap anak yang dirampas kebebasannya berhak untuk:
a. mendapatkan perlakuan secara manusiawi dan penempatannya dipisahkan dari
orang dewasa.
b. Memperoleh bantuan hukum atau bantuan lainnya secara efektif dalam setiap
tahapan upaya hukum yang berlaku; dan
c. Membela diri dan memperoleh keadilan di depan pengadilan anak yang objektif
dan tidak memihak dalam sidang tertutup untuk umum.
(2) Setiap anak yang menjadi korban atau pelaku kekerassan seksual atau yang
berhadapan dengan hukum berhak dirahasiakan.
Pasal 18
Setiap anak yang menjadi korban atau pelaku tindak pidana berhak mendapatkan
bantuan hukum atau bantuan lainnya.
2. Kewajiban Anak Menurut UU No. 23 Tahun 2002
Kewajiban berasal dari kata dasar “wajib” yang artinya harus melakukan; tidak
boleh tidak dilaksanakan (ditinggalkan). Mendapat awalan ke-
dan akhiran -an, menjadi kewajiban yang artinya sesuatu yang harus
dilaksanakan. Jadi, kewajiban anak adalah sesuatu yang
harus dilaksanakan oleh seorang anak.
Di antara kewajiban yang harus dilakukan oleh anak menurut UU No. 23 Tahun 2002
adalah:
Pasal 19
Setiap anak berkewajiban untuk:
a. menghormati orang tua, wali, dan guru;
b. mencintai keluarga, masyarakat, dan menyayangi teman;
c. mencintai tanah air, bangsa, dan Negara;
d. menunaikan ibadah sesuai dengan ajaran agamanya; dan
e. melaksanakan etika dan akhlak yang mulia.
Kewajiban Orang Tua Menurut UU No. 23 Tahun 2002
Orangtua sebagai orang terdekat anak berkewajiban melaksanakan kewajibannya. Orangtua
tidak boleh hanya menuntut hak terhadap anak saja tetapi juga memiliki
kewajiban yang harus ia laksanakan. Dalam UU No. 23
Tahun 2002 terdapat kewajiban orangtua yaitu tercantum dalam pasal 26 yang
berbunyi:
(1) Orang tua berkewajiban dan berytanggung jawab untuk:
a. mengasuh, memelihara, mendidik, dan melindungi anak;
b. menumbuhkembangkan anak sesuai dengan kemampuan, bakat, dan minatnya; dan
c. mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak-anak.
(2) Dalam hal orang tua tidak ada, atau tidak diketahui keberadaannya, atau
karena suatu sebab, tidak dapat melaksanakan kewajiban dan tanggung jawabnya,
maka kewajiban dan tanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
beralih kepada keluarga, yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
3.2 Pengertian kekerasan terhadap
anak menurut para ahli
Menurut Sutanto (2006) kekerasan anak adalah perlakuan
orang dewasa atau anak yang lebih tua dengan menggunakan kekuasaan/otoritasnya
terhadap anak yang tak berdaya yang seharusnya menjadi tanggung jawab dari
orangtua atau pengasuh yang berakibat penderitaan, kesengsaraan,
cacat/kematian. Kekerasan pada anak lebih bersifat
sebagai bentuk penganiayaan fisik dengan terdapatnya tanda atau luka pada tubuh
sang anak.
Nadia (2004) mengartikan kekerasan anak sebagai bentuk
penganiayaan baik fiisk maupun psikis. Penganiayaan fisik adalah tindakan kasar yang mencelakakan anak dan
segala bentuk kekerasan fisik pada anak yang lainnya. Sedangkan
penganiayaan psikis adalah semua tindakan merendahkan/meremehkan anak.
Lebih lanjut Hoesin (2006) melihat kekerasan anak
sebagai bentuk pelanggaran terhadap hak-hak anak dan dibanyak negara
dikategorikan sebagai kejahatan sehingga untuk mencegahnya dapat dilakukan oleh
para petugas hukum.
Sedangkan Patilima (2003) menganggap kekerasan
merupakan perlakuan yang salah dari orangtua. Patilima mendefinisikan perlakuan yang salah pada anak adalah
segala perlakuan terhadap anak yang akibat dari kekerasannya mengancam
kesejahteraan dan tumbuh kembang anak, baik secara fisik, psikologi sosial
maupun mental.
3.3 Faktor faktor Penyebab
Terjadinya Kekerasan terhadap Anak
Ada banyak
faktor kenapa terjadi kekerasan terhadap anak :
· Lemahnya
pengawasan orang tua terhadap anak dalam menonton tv, bermain dll. Hal ini bukan berarti orang tua menjadi diktator/over protective,
namun maraknya kriminalitas di negeri ini membuat perlunya meningkatkan
kewaspadaan terhadap lingkungan sekitar.
· Anak
mengalami cacat tubuh, gangguan tingkah laku, autisme, terlalu lugu
· Kemiskinan keluarga (banyak anak).
· Keluarga pecah (broken Home)
akibat perceraian, ketiadaan Ibu dalam jangka panjang.
· Keluarga
yang belum matang secara psikologis, ketidak mampuan mendidik anak, anak yang
tidak diinginkan (Unwanted Child)atau anak lahir
diluar nikah.
· Pengulangan
sejarah kekerasan orang tua yang dulu sering memperlakukan anak-anaknya dengan
pola yang sama
· Kondisi
lingkungan yang buruk, keterbelakangan
· Kesibukan
orang tua sehingga anak menjadi sendirian bisa menjadi pemicu kekerasan
terhadap anak
· Kurangnya pendidikan orang tua terhadap anak.
3.4.
Bentuk Kekerasan Terhadap Anak
1.Kekerasan
Fisik
Bentuk
kekerasan seperti ini mudah diketahui karena akibatnya bisa terlihat pada tubuh
korban Kasus physical abuse: persentase tertinggi usia
0-5 tahun (32.3%) dan terendah usia 13-15 tahun (16.2%). Kekerasan
biasanya meliputi memukul, mencekik, menempelkan benda panas ke tubuh korban
dan lain-lainnya. Dampak dari kekerasan seperti ini selain menimbuBlkan luka
dan trauma pada korban, juga seringkali membuat korban meninggal
2. Kekerasan
secara Verbal
Bentuk
kekerasan seperti ini sering diabaikan dan dianggap biasa atau bahkan dianggap
sebagai candaan. Kekerasaan
seperti ini biasanya meliputi hinaan, makian, maupun celaan. Dampak dari
kekerasaan seperti ini yaitu anak jadi belajar untuk mengucapkan kata-kata
kasar, tidak menghormati orang lain dan juga bisa menyebabkan anak menjadi
rendah diri.
3. Kekerasan
secara Mental
Bentuk
kekerasan seperti ini juga sering tidak terlihat, namun dampaknya bisa lebih
besar dari kekerasan secara verbal. Kasus
emotional abuse: persentase tertinggi usia 6-12 tahun
(28.8%) dan terendah usia 16-18 tahun (0.9%) Kekerasaan
seperti ini meliputi pengabaian orang tua terhadap anak yang membutuhkan
perhatian, teror, celaan, maupun sering membanding-bandingkan hal-hal dalam
diri anak tersebut dengan yang lain, bisa menyebabkan mentalnya menjadi lemah.
Dampak kekerasan seperti ini yaitu anak merasa cemas, menjadi
pendiam, belajar rendah diri, hanya bisa iri tanpa mampu untuk bangkit.
4.Pelecehan Seksual
Bentuk
kekerasan seperti ini biasanya dilakukan oleh orang yang telah dikenal anak,
seperti keluarga, tetangga, guru maupun teman sepermainannya sendiri. Kasus
pelecehan eksual: persentase tertinggi usia 6-12 tahun
(33%) dan
terendah usia 0-5
tahun (7,7%).Bentuk kekerasan seperti ini yaitu pelecehan, pencabulan maupun
pemerkosaan. Dampak kekerasan seperti ini selain menimbulkan
trauma mendalam, juga seringkali menimbulkan luka secara fisik.
Berikutnya hendak dikemukakan
berbagai bentuk kekerasan terhadap anak yang ditetapkan sebagai tindak pidana
sebagaimana diatur dalam UU Perlindungan Anak. Seperti dikemukakan di atas,
bahwa ada beberapa bentuk kekerasan terhadap anak, yaitu kekerasan fisik,
psikis, dan seksual. Bentuk bentuk kekerasan terhadap anak tersebut dijabarkan
ke dalam berbagai tindak pidana, seperti diatur dalam Pasal 77 s/d Pasal 89.
Berbagai bentuk tindak pidana kekerasan pada anak dalam UU Perlindungan Anak
adalah sebagai berikut:
(1) diskriminasi terhadap anak yang mengakibatkan anak
mengalami kerugian
materiil maupun moril sehingga menghambat fungsi
sosialnya (Pasal 77);
(2)penelantaran
terhadap anak yang mengakibatkan anak mengalami sakit atau penderitaan fisk,
mental, maupun social (Pasal 77);
(3) membiarkan anak dalam situasi darurat, seperti
dalam pengusian, kerusuhan, bencana alam, dan/atau dalam situasi konflik
bersengjata (Pasal 78);
(4) membiarkan
anak yang berhadapan dengan hukum, anak dari kelompok minoritas dan terisolasi,
anak tereksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual, anak yang diperdagangkan,
anakyang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkhohol, psikotropika, dan
zat adiktif lainya (napza), anak korban penculikan, anak korban perdagangan,
padahal anak tersebut memerlukan pertolongan dan harus dibantu (Pasal 78);
(5) pengangkatan anak yang tidak sesuai dengan Pasal
39 (Pasal 79);
(6)melakukan kekejaman, kekerasan atau penganiayaan
terhadap anak (Pasal 80);
(7) melakukan kekerasan terhadap anak untuk melakukan
persetubuhan (Pasal 81)
(8) melakukan kekerasan, memaksa, melakukan tipu
muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak untuk melakukan atau membiarkan
perbuatan cabul (Pasal 82);
(9) memperdagangkan, menjual, atau menculik anak untuk
diri sendiri atau untuk dijual (Pasal 83);
(10) melakukan transplantasi organ dan/atau jaringan
tubuh anak untuk pihak lain dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau
orang lain, secara melawan hukum(Pasal 84);
(11) melakukan jual beli organ tubuh dan/atau jaringan
tubuh anak(Pasal 85);
(12) melakukan pengambilan organ tubuh dan/atau
jaringan tubuh anak, tanpa memperhatikan kesehatan anak, atau penelitian
kesehatan yang menggunakan anak sebagai objeknya tanpa mengutamakan kepentingan
yang terbaik bagi anak, secara melawan hukum (Pasal 85);
(13) membujuk anak untuk memilih agama lain dengan
menggunakan tipu muslihat atau serangkaian kebohongan (Pasal 86);
(14) mengeksploitasi ekonomi dan seksual anak dengan
maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain (Pasal 88);
(15) menempatkan, membiarkan, melibatkan,menuruh
melibatkan anak dalam penyalahgunaan produksi atau distribusi narkotika,
psikotropika, alkhohol, dan/atau zat adiktif lainya (napza) (Pasal89).
3.5
Dampak dari Kekerasan pada Anak
Dampak
kekerasan pada anak yang diakibatkan oleh orangtuanya sendiri atau orang lain
sangatlah buruk antara lain:
1.
Agresif.
Sikap ini
biasa ditujukan anak kepada pelaku kekerasan. Umumnya ditujukan saat anak merasa tidak ada orang yang bisa
melindungi dirinya. Saat orang yang dianggap tidka bisa melindunginya
itu ada disekitarnya, anak akan langsung memukul datau
melakukan tindak agresif terhadap si pelaku. Tetapi tidak
semua sikap agresif anak muncul karena telah mengalami tindak kekerasan.
2.
Murung/Depresi
Kekerasan
mampu membuat anak berubah drastis seperti menjadi anak yang memiliki gangguan
tidur dan makan, bahkan bisa disertai penurunan berat badan. Ia akan menjadi anak yang pemurung, pendiam, dan terlihat
kurang ekspresif.
3.
Memudah menangis
Sikap ini
ditunjukkan karena anak merasa tidka nyaman dan aman dengan lingkungan
sekitarnya. Karena dia kehilangan figur yang bisa melindunginya,
kemungkinan besar pada saat dia besar, dia tidak akan
mudah percaya pada orang lain.
4.
Melakukan tindak kekerasan terhadap orang lain
Dari semua
ini anak dapat melihat bagaimana orang dewasa memperlakukannya dulu. Ia belajar dari pengalamannya, kemudian bereaksi sesuai
dengan apa yang dia alami.
3.6.Perlindungan hukum terhadap anak
korban kekerasan
Perlindungan
anak adalah suatu usaha yang mengadakan situasi dan kondisi yang memungkinkan
pelaksanaan hak dan kewajiban anak secara manusiawi positif. Ini berarti dilindunginya anak untuk memperoleh dan mempertahankan
haknya untuk hidup, mempunyai kelangsungan hidup, bertumbuh kembang dan
perlindungan dalam pelaksanaan hak dan kewajibannya sendiri atau bersama para
pelindungnya. (Arief Gosita, 1996:14).
Menurut pasal 1 nomor 2 , Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan
anak disebutkan bahwa:
“Perlindungan anak adalah segala
kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi, secara
optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan serta mendapat
perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”.
Pada umumnya, upaya perlindungan anak dapat dibagi menjadi perlindungan
langsung dan tidak langsung, dan perlindungan yuridis dan
non-yuridis. Upaya-upaya perlindungan secara langsung di antaranya
meliputi: pengadaan sesuatu agar anak terlindungi dan diselamatkan dari
sesuatu yang membahayakannya, pencegahan dari segala sesuatu yang dapat
merugikan atau mengorbankan anak, pengawasan, penjagaan terhadap gangguan dari
dalam dirinya atau dari luar dirinya, pembinaan (mental, fisik, sosial),
pemasyarakatan pendidikan formal dan informal, pengasuhan (asah, asih, asuh),
pengganjaran (reward), pengaturan dalam peraturan perundang-undangan.(Arief
Gosita, 1996:6)
Sedangkan, upaya perlindungan tidak
langsung antara lain meliputi: pencegahan orang lain merugikan, mengorbankan
kepentingan anak melalui suatu peraturan perundang-undangan, peningkatan
pengertian yang tepat mengenai manusia anak serta hak dan kewajiban, penyuluhan
mengenai pembinaan anak dan keluarga, pengadaaan sesuatu yang menguntungkan
anak, pembinaan (mental, fisik dan sosial) para partisipan selain anak yang
bersangkutan dalam pelaksanaan perlindungan anak, penindakan mereka yang
menghalangi usaha perlindungan anak.(Arief Gosita, 1996:7)
Kedua upaya perlindungan di atas
sekilas nampak sama dalam hal bentuk upaya
perlindungannya. Perbedaan antara keduanya terletak pada
objek dari perlindungan itu sendiri. Objek dalam upaya perlindungan
langsung tentunya adalah anak secara langsung. Sedangkan upaya perlindungan tidak langsung, lebih pada para
partisipan yang berkaitan dan berkepentingan terhadap perlindungan anak, yaitu
orang tua, petugas dan pembina.
Demi
menimbulkan hasil yang optimal, seyogyanya upaya perlindungan ini ditempuh dari
dua jalur, yaitu dari jalur pembinaan para partisipan yang berkepentingan dalam
perlindungan anak, kemudian selanjutnya pembinaan anak secara langsung oleh
para partisipan tersebut.
Upaya-upaya ini lebih merupakan
upaya yang integral, karena bagaimana mungkin pelaksanaan perlindungan terhadap
anak dapat berhasil, apabila para partisipan yang terkait seperti orang tua,
para petugas dan pembina, tidak terlebih dahulu dibina dan dibimbing serta
diberikan pemahaman mengenai cara melindungi anak dengan baik.
Ditinjau dari sifat perlindungannya,
perlindungan anak juga dapat dibedakan dari menjadi: perlindungan yang bersifat
yuridis, meliputi perlindungan dalam bidang hukum perdata dan dalam hukum
pidana; perlindungan yang bersifat non-yuridis, meliputi perlindungan di bidang
sosial, bidang kesehatan dan bidang pendidikan. (Maulana Hassan Waddong,
2000:40)
Upaya perlindungan anak korban
kekerasan baru mulai mendapat perhatian penguasa, secara lebih komprehensif,
sejak ditetapkannya UU Perlindungan Anak, meski perlindungan itu masih
memerlukan instrumen hukum lainnya guna mengoperasionalkan perlidunngan
tersebut.
Di samping adanya perlindungan
yang bersifat abstrak (secara tidak langsung) melalui pemberian sanksi pidana kepada
pelaku kekerasan terhadap anak, UU Perlindungan Anak juga menetapkan beberapa
bentuk perlindungan yang lain terhadap anak korban kekerasan. Pasal 17 ayat (2)
yang berbunyi:
“Setiap
anak yang menjadi korban atau pelaku kekerasan seksual atau yang berhadapan
dengan hukum berhak dirahasiakan”.
Kemudian dalam Pasal 18 disebutkan:
“Setiap
anak yang menjadi korban atau pelaku tindak pidana berhak memperoleh
bantuan hukum dan bantuan lainnya”.
Bentuk perlindungan yang diberikan oleh UU (Pasal 17
ayat 2 dan Pasal 18) hanya berupa kerahasiaan si anak, bantuan hukum dan
bantuan lain. Hanya sayang, bahwa makna kerahasiaan tersebut tidak ada
penjelasan lebih lanjut.
Kemudian perlindungan yang berupa bantuan lainnya,
dalam penjelasann Pasal 18, hanya disebutkan bahwa: “bantuan lainnya dalam ketentuan ini termasuk bantuan
medik,, sosial, rehabilitasi, vokasional, dan pendidikan”.
Dalam Bab IX tentang
Penyelenggaraan Perlindungan ditetapkan beberapa bentuk perlidungan anak yang
mencakup perlindungan agama, kesehatan, sosial, dan pendidikan. Dalam
perlindungan tersebut tidak disebutkan secara khusus tentang perlindungan bagi
anak korban kekerasan. Baru dalam bagian kelima (Pasal 59-71) diatur tentang
perlindungan khusus, namun sayangnya dalam ketentuan ini juga ditegaskan
tentang bentuk perlidungan
khusus bagi anak korban kekerasan.
Dalam ketentuan ini hanya
ditetapkan tentang proses dan pihak yang bertanggungjawan atas perlindungan
anak korban kekerasan. Misalnya, perlindungan anak korban tindak pidana (Pasal
64 ayat 3) hanya ditentukan prosesnya, yaitu melalui:
(1) upaya rehabilitasi, baik
dalam lembaga maupun di luar lembaga;
(2)
upaya perlindungan dari pemberitaan identitas melalui media massa dan menghindari labelisasi;
(3) pemberian jaminan keselamatan bagi saksi korban
dan saksi ahli, baik fisik, mental maupun sosial; dan
(4)
pemberian aksesibilitas untuk mendapatkan informasi mengenai perkembangan
perkara.
Kemudian juga dalam hal terjadi kekerasan yang berupa
eksploitasi anak secara ekonomi dan/atau seksual (Pasal 66), perlindungan
dilakukan melalui:
(1) penyebarluasan dan/atau
sosialisasi ketentuan peraturan perundangundangan
yang
berkaitan dengan perlindungan anak yang dieksploitasi secara ekonomi dan/atau
seksual;
(2) pemantauan, pelaporan, dan
pemberian sanksi; dan
(3)
pelibatan pemerintah dan masyarakat dalam penghapusan eksploitasi anak secara
ekonomi dan/atau seksual.
Pihak yang bertanggung jawab
dalam perlindungan tersebut, semuanya hanya ditentukan, yaitu pemerintah dan
masyarakat. Perlindungan yang diberikan oleh UU ini pada dasarnya juga masih
bersifat abstrak, tidak secara langsung dapat dinikmati oleh korban kekerasan.
Artinya, bahwa korban kekerasan tidak memperoleh perlindungan yang berupa
pemenuhan atas kerugian yang dideritanya.
Adanya ketentuan tentang Komisi Perlindungan Anak
(Pasal 74-76) juga belum menunjukkan adanya upaya pemberian perlindungan
terhadap anak korban kekerasan, sebab komisi ini tentunya juga hanya tergantung
dari ada tidaknya perlindungan yang yang berupa pemenuhan atas kerugian atau penderiataan
anak korban kekerasan.Pemberian perlindungan terhadap anak korban kekerasan,
khususnya yang berupa pemenuhan ganti kerugian, baik melalui pemberian
kompensasi dan/atau restitusi seharusnya memperoleh perhatian dari pembuat
kebijakan.
Berbagai
bentuk ganti rugi tersebut bukan semata-mata diberikan untuk perlindunagn
korban. Oleh karena itu perlu ada perhatian dari pembuat UU tentang pemberian
perlindungan korban kejahatan (kekerasan) secara langsung.Pelindungan ini
sangat diperlukan bagi korban kekerasan yang memang sangat memerlukan pemulihan
kerugian, baik ekonomi maupun fisik, sementara korban tidak mampu.
Seperti dikemukakan di atas, meski
kedua UU tersebut sudah menetapkan berbagai bentuk perlindungan anak korban kekerasan,
namun bentuk perlindungan yang bersifat langsung, baik dari negara ataupun dari
pelaku kekerasan belum nampak secara jelas. Oleh karenanya perlu ditetapkan
model pemberian perlindungan anak korban kekerasan baik dalam UU Perlindungan
Anak secara jelas dan tegas , sehingga dalam kehidupan selanjutnya anak koban
kekerasan benar-benar mendapat jaminan hukum yang jelas.
3.7. Solusi Mencegah Terjadinya Kekerasan
pada Anak
Agar anak
terhindar dari bentuk kekerasan seperti diatas perlu adanya pengawasan dari
orang tua, dan perlu diadakannya langkah-langkah sebagai berikut:
· Jangan
sering mengabaikan anak, karena sebagian dari terjadinya kekerasan terhadap
anak adalah kurangnya perhatian terhadap anak. Namun hal ini
berbeda dengan memanjakan anak.
· Tanamkan
sejak dini pendidikan agama pada anak. Agama mengajarkan
moral pada anak agar berbuat baik, hal ini dimaksudkan agar anak tersebut tidak
menjadi pelaku kekerasn itu sendiri.
· Sesekali
bicaralah secara terbuka pada anak dan berikan dorongan pada anak agar bicara
apa adanya/berterus terang. Hal ini dimaksudkan agar orang tua bisa mengenal
anaknya dengan baik dan memberikan nasihat apa yang
perlu dilakukan terhadp anak, karena banyak sekali kekerasan pada anak terutama
pelecehan seksual yang terlambat diungkap.
· Ajarkan
kepada anak untuk bersikap waspada seperti jangan terima ajakan orang yang
kurang dikenal dan lain-lain.
· Sebaiknya
orang tua juga bersikap sabar terhadap anak. Ingatlah bahwa seorang anak
tetaplah seorang anak yang masih perlu banyak belajar tentang kehidupan dan
karena kurangnya kesabaran orang tua banyak kasus orang tua yang menjadi pelaku
kekerasan terhadap anaknya sendirI
BAB
IV
PENUTUP
1. Simpulan
Setiap anak
berhak memperoleh perlindungan dari keluarga, masyarakat maupun pemerintah. Dalam penyelenggaraan perlindungan anak yang tercantum dalam UU No.
23 Tahun 2002 maka semua pihak mempunyai kewajiban untuk melindungi anak dan
mempertahankan hak-hak anak. Pemberlakuan
Undang-undang ini juga di sempurnakan dengan adanya pemberian tindak pidana
bagi setiap orang yang sengaja maupun tidak sengaja melakukan tindakan yang
melanggar hak anak. Dalam undang-undang ini juga dijelaskan bahwa semua
anak mendapat perlakuan yang sama dan jaminan
perlindungan yang sama pula, dalam hal ini tidak ada diskriminasi ras, etnis,
agama, suku dsb. Anak yang menderita cacat baik fisk
maupun mental juga memiliki hak yang sama dan wajib dilindungi seperti hak
memperoleh pendidikan, kesehatan, dsb.
Undang-undang No.23 tahun 2002 juga
menjelaskan mengenai hak asuh anak yang terkait dengan pengalihan hak asuh
anak, perwalian yang diperlukan karena ketidakmampuan orang tua berhubungan
dengan hukum, pengangkatan anak yang sangat memperhatikan kepentingan anak,
serta penyelenggaraan perlindungan dalam hal agama, kesehatan, pendidikan,
sosial dan perlindungan khusus.
2. Saran
Undang-undang
ini telah dibuat dengan baik dan memperhatikan atau peduli terhadap hak-hak
anak namun pemerintah kurang mensosialisasikan dan merealisasikan isi
undang-undang ini. Pemerintah dan masyarakat kurang
berperan dalam menjalankan undang-undang ini sebab anak masih dalam pengawasan
dan pengasuhan keluarga jadi pihak lain belum
menjalankan tanggung jawab seperti yang telah tercatum diatas.
DAFTAR PUSTAKA
Hadisuprapto, Paulus, (5 Oktober 1996) Masalah
Perlindungan Hukum Bagi Anak,Jakarta:PT.Gramedia Indonesia
Joni, Muhammad, (1999) Aspek Hukum Perlindungan
Anak Dalam Perspektif Konvensi
Hak Anak, Bandung: Citra Aditya Bakti
Sutanto, Retnowulan, (5 Oktober 1996) Makalah “Hukum
Acara Peradilan Anak”,
Wadong, Maulana Hassan, (2000) Pengantar
Advokasi dan Hukum Perlindungan Anak, Jakarta: PT. Gramedia Indonesia,
Jakarta 2000
Rani, (5 Oktober
1996) Makalah “ Masalah perlindungan anak “ ,
Arief, Barda
Nawawi, (1998) Beberapa Aspek Kebijakan
Penegakan Dan
Pengembangan Hukum Pidana, Bandung: Citra Aditya Bakti.
Undang-undang terdiri atas:
KUHP
Undang-undang Nomor 23 Tahun
2002 Tentang Perlindungan Anak
Undang-undang Nomor 4 Tahun
1979 Tentang Kesejahteraan Anak
Undang-undang Nomor 3 Tahun
1997 Tentang Pengadilan Anak
This comment has been removed by the author.
ReplyDeleteThis comment has been removed by a blog administrator.
ReplyDeletebermanfaat untuk di pelajari, kunjungi juga yaw
ReplyDeleteFH Gelar FGD Qou Vadis RUU Hukum Acara Perdata
I think child abuse is not humane , and if want to torture the child then do not do do for you as you pass lust after your child is born you all to torture your children are innocent and do not know what's what
ReplyDeletejudi poker online yang aman dan terpercaya